Sejatining Manembah
Oleh: Eko Rahmanto, S.Ud (Penyuluh Agama Islam KUA Winong, Pati)
Sembah,
manembah atau beribadah merupakan tugas utama seorang hamba kepada Allah Swt,
sebagaimana Allah Swt menjelaskan dalam Q.s. Adz-Dzariyat ayat 56, “Tidaklah
Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”.
Ayat
itu menjelaskan bahwa jin dan manusia, diperintahkan oleh Allah Swt untuk
tunduk kepada-Nya dan untuk merendahkan diri. Maka setiap makhluk, baik jin
atau manusia wajib tunduk kepada peraturan Tuhan, merendahkan diri terhadap
kehendak-Nya. Menerima apa yang Dia takdirkan, mereka dijadikan atas
kehendak-Nya dan diberi rezeki sesuai dengan apa yang telah Dia tentukan. Tak
seorang pun yang dapat memberikan manfaat atau mendatangkan mudarat karena
kesemuanya adalah dengan kehendak Allah. Ayat tersebut menguatkan perintah
mengingat Allah swt dan memerintahkan manusia supaya melakukan ibadah kepada
Allah swt.
Hakikat Ibadah dalam Perspektif
Jawa
Dalam
kaitannya dengan “sembah”, seorang ulama jawa yakni KGPAA Sri Mangkunegara IV
mengungkapkan dalam Serat Wedhatama, sembah merupakan salah satu dari
empat tingkatan klasifikasi religiusitas seseorang dengan Tuhannya, yaitu: Sembah
raga, Sembah cipta, Sembah jiwa, Sembah rasa.
Sembah
raga ialah menyembah Tuhan dengan mengutamakan gerak laku badaniah atau amal
perbuatan yang bersifat lairiah. Cara bersucinya sama dengan sembahyang biasa,
yaitu dengan mempergunakan air (wudhu). Sembah yang demikian biasa dikerjakan
lima kali sehari semalam dengan mengindahkan pedoman secara tepat, tekun dan
terus menerus, seperti bait berikut:
“Sembah
raga puniku / pakartining wong amagang laku / sesucine asarana saking warih /
kang wus lumrah limang wektu / wantu wataking wawaton”
Sembah
ini didahului dengan bersuci dengan menggunakan air (sesucine asarana
saking warih). Yang berlaku umum sembah raga ditunaikan sehari semalam
lima kali (kang wus lumrah limang wektu). Sembah lima waktu merupakan
shalat fardhu yang wajib ditunaikan (setiap muslim) dengan memenuhi segala
syarat dan rukunnya (wantu wataking wawaton). Sembah raga yang
demikian ini wajib ditunaikan terus-menerus tiada henti (wantu) seumur
hidup. Dengan keharusan memenuhi segala ketentuan syarat dan rukun yang wajib
dipedomani. Tanpa mempedomani syarat dan rukun, maka sembah itu tidak sah.
Yang
kedua adalah Sembah Cipta (Kalbu). Sembah
ini kadang kadang disebut sembah cipta dan kadang-kadang disebut sembah kalbu,
seperti terungkap pada Pupuh Gambuh bait 1 terdahulu dan Pupuh Gambuh bait 11
berikut:
“Samengko
sembah kalbu/ yen lumintu uga dadi laku/ laku agung kang kagungan narapati/
patitis teteking kawruh/ meruhi marang kang momong
Isi
tembang tersebut adalah apabila sembah raga menekankan penggunaan air untuk
membasuh segala kotoran dan najis lahirlah, maka sembah kalbu menekankan
pengekangan hawa nafsu yang dapat mengakibatkan terjadinya bebagai pelanggaran
dan dosa (sucine tanpa banyu, amung nyuyuda hardaning kalbu).
Thaharah (bersuci)
itu, demikian kata Al-Ghazali, ada empat tingkat. Pertama, membersihkan hadast
dan najis yang bersifat lahiriah. Kedua, membersihkan anggota badan dari
berbagai pelanggaran dan dosa. Ketiga, membersihkan hati dari dari akhlak yang
tercela dan budi pekerti yang hina. Keempat, membersihkan hati nurani dari apa
yang selain Allah. Thaharah yang ketiga dan keempat tidak memnggunakan air,
tetapi dengan membersihkan hati dari budi jahat danmengosongkan hati dari apa
saja yang selain Allah.
Yang
ketiga adalah, Sembah Jiwa. Sembah jiwa adalah sembah kepada Hyang Sukma
(Allah) dengan mengutamakan peran jiwa. Jika sembah cipta (kalbu) mengutamakan
peran kalbu, maka sembah jiwa lebih halus dan mendalam dengan menggunakan jiwa
atau al-ruh. Sembah ini hendaknya diresapi secara menyeluruh tanpa henti
setiap hari dan dilaksanakan dengan tekun secara terus-menerus, seperti
terlihat pada bait berikut:
Samengko
kang tinutur/ Sembah katri kang sayekti katur/ Mring Hyang Sukma suksmanen
saari-ari/ Arahen dipun kecakup/ Sembahing jiwa sutengong
Dalam
rangkaian ajaran sembah Mangkunegara IV yang telah disebut terdahulu, sembah
jiwa ini menempati kedudukan yang sangat penting. Ia disebut pepuntoning
laku (pokok tujuan atau akhir perjalanan suluk). Inilah akhir perjalanan
hidup batiniah. Cara bersucinya tidak seperti pada sembah raga dengan air wudhu
atau mandi, tidak pula seperti pada sembah kalbu dengan menundukkan hawa nafsu,
tetapi dengan awas emut (selalu waspada dan ingat/dzikir kepada
keadaan alam baka/langgeng), alam Illahi. Betapa penting dan mendalamnya sembah
jiwa ini, tampak dengan jelas pada bait berikut:
Sayekti
luwih perlu/ ingaranan pepuntoning laku/ kalakuan kang tumrap bangsaning batin/
Sucine lan awas emut/ Mring alaming alam amot
Pelaksanaan
sembah jiwa ialah dengan berniat teguh didalam hati untuk mengemaskan aspek
jiwa, lalu diikatnya kuat-kuat untuk diarahkan tujuan yang hendak dicapai tanpa
melepaskan apa yang telah dipegang pada saat itu. Dengan demikian triloka (alam
semesta) tergulung menjadi satu. Begitu pula jagad besar dan jagad kecil
digulungkan disatupadukan. Di situlah terlihat alam yang bersinar gemerlapan.
Maka untuk menghadapi keadaan yang mengagumkan itu, hendaklah perasaan
hati dipertebal dan diperteguh jangan terpengaruh apa yang terjadi. Hal yang
demikian itu dijelaskan Mangkunegara IV pada bait berikut:
Ruktine
ngangkah ngukud/ ngiket ngruket triloka kakukud / jagad agung ginulung lan
jagad alit / den kandel kumandel kulup / mring kelaping alam kono
Yang
keempat adalah Sembah Rasa. Sembah rasa ini berlainan dengan sembah-sembah yang
sebelumnya. Ia didasarkan kepada rasa cemas. Sembah yang keempat ini ialah
sembah yang dihayati dengan merasakan inti sari kehidupan makhluk semesta alam,
demikian menurut Mangkunegara IV.
Jika
sembah kalbu mengandung arti menyembah Tuhan dengan alat batin kalbu atau hati
seperti disebutkan sebelumnya, sembah jiwa berarti menyembah tuhan dengan alat
batin jiwa atau ruh, maka sembah rasa berarti menyembah Tuhan dengan
menggunakan alat batin inti ruh. Alat batin yang belakangan ini adalah alat
batin yang paling dalam dan paling halus yang menurut Mangkunegara IV
disebut telenging kalbu (lubuk hati yang paling dalam) atau
disebut wosing jiwangga (inti ruh yang paling halus).
Apabila
sembah jiwa dipandang sebagai sembah pada proses pencapaian tujuan akhir
perjalanan suluk itu, melainkan sembah yang dilakukan di tempat tujuan akhir
suluk. Dengan kata lain, seorang salik telah tiba di tempat yang dituju. Dan di
sinilah akhir perjalanan suluknya. Untuk sampai di sini, seorang salik masih
tetap dibimbing gurunya seperti telah disebut di muka. Setelah ia diantarkan
sampai selamat oleh gurunya untuk memasuki pintu gerbang, tempat sembah yang
keempat, maka selanjutnya ia harus mandiri melakukan sembah rasa.
Komentar
Posting Komentar